Istilah hibah mungkin sudah cukup familiar di telinga Anda. Istilah ini seringkali dikaitkan sebagai sebuah hadiah yang diberikan kepada orang lain. Padahal, keduanya memiliki makna yang berbeda. Secara umum, istilah hibah merupakan bentuk pemberian sesuatu kepada orang lain yang dikehendaki secara sukarela. Dalam hal ini, pemberiannya dilakukan saat masih hidup yang mana berbeda dengan konsep harta warisan. Oleh karena itu, hibah cukup sering ditemui di acara-acara sosial, seperti pemberian tempat beribadah atau tanah kepada lembaga sosial. Tak jarang istilah ini dikaitkan dalam bentuk harta atau properti.
Kata hibah berasal dari bahasa Arab hiba yang artinya pemberian yang dilakukan seseorang kepada orang lain secara sukarela tanpa mengharapkan imbalan atau pamrih dalam bentuk apa pun. Hibah ini dilakukan saat seseorang atau satu pihak masih hidup dan wujudnya dapat berupa harta secara fisik atau benda-benda lain yang tak tergolong sebagai harta atau benda berharga. Sedangkan, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia hibah adalah pemberian (dengan sukarela) yang mengalihkan hak atas sesuatu kepada orang lain.
Sementara itu, menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHP) Pasal 1666 hibah adalah suatu pemberian oleh seseorang yang masih hidup kepada orang lain secara cuma-cuma dan tidak dapat ditarik kembali, atas barang bergerak maupun barang tidak bergerak. Berbeda dengan harta warisan, biasanya hibah dapat dilakukan tanpa adanya ikatan pernikahan atau hubungan darah. Itulah mengapa hibah sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, seperti dalam urusan sosial, kenegaraan, pendidikan, agama, dan lain sebagainya.
Hibah memberikan banyak manfaat, terutama bagi pihak penerima, salah satunya yaitu penerima dapat merasakan kebahagiaan dari hasil pemberian yang ia dapatkan. Selain itu, pemberian hibah kepada orang yang berhak juga bisa mempererat hubungan dengan lebih baik.
Salah satu manfaat yang bisa didapatkan yaitu saat seseorang atau satu pihak memberikan hibah dalam bentuk tanah. Dalam hal ini, tanah tersebut akan sangat berguna bagi masyarakat yang nanti akan menggunakannya. Hibah tanah ini bisa dijadikan kepentingan sosial, seperti tempat ibadah, sekolah, yayasan, tempat umum, dan lain sebagainya.
Dalam pelaksanaannya, terdapat empat rukun hibah yang harus dipenuhi sesuai dengan aturan dalam agama Islam, di antaranya:
Rukun pertama dalam hibah, yaitu pemberi atau Al Wahib. Pihak yang disebut pemberi harus memenuhi beberapa syarat berikut ini:
Sebenarnya tidak ada persyaratan tertentu bagi pihak penerima, hibah bisa diberikan kepada siapa pun yang dipilih oleh pihak pemberi. Namun, ada pengecualian yaitu apabila hibah terdapat anak di bawah umur atau orang yang tidak waras akal pikirannya, maka harus diserahkan kepada wali yang sah dari mereka.
Barang yang dihibahkan pun memiliki beberapa persyaratan yang berkenaan dengan harta yang dihibahkan, yaitu:
Menurut para ulama fikih, terdapat dua jenis tanda serah terima atau shighat, di antaranya shighat perkataan (lafaz) yang disebut dengan istilah ijab dan qabul, serta yang kedua yaitu shighat perbuatan, seperti penyerahan barang secara langsung tanpa adanya ijab qabul.
Berikut adala dua macam atau jenis hibah yang perlu Anda ketahui, di antaranya:
Sesuai namanya, hibah barang merupakan jenis hibah ketika pemberi memberikan barang atau harta yang bernilai manfaat kepada penerima tanpa mengharapkan imbalan apa pun. Sebagai contoh, Anda menghibahkan mobil, sepeda motor, pakaian, dan barang lainnya.
Jenis yang kedua adalah hibah manfaat, yaitu ketika pemberi memberikan harta atau barang kepada pihak penerima, tetapi barang tersebut masih menjadi miliki si pemberi. Dengan harapan, barangnya akan dimanfaatkan oleh pihak penerima. Dalam hal ini, penerima hanya memiliki hak pakai atau hak guna saja.
Jika dilihat sekilas, hibah dan wakaf memang terlihat mirip. Namun, dalam pelaksanaannya kedua hal ini memiliki sejumlah perbedaan. Menurut Badan Wakaf Indonesia (BWI), kata wakaf berasal dari Bahasa Arab “waqafa” yang berarti menahan harta untuk diwakafkan atau tidak dipindah milikkan. Meski begitu, wakaf memiliki banyak pemahaman jika dipandang melalui sudut pandang agama Islam.
Selain dari pengertian, berikut ini beberapa perbedaan antara hibah dan wakaf, antara lain:
Perbedaan hibah dan wakaf terletak pada kegunaan atau manfaat yang diberikan. Wakaf biasanya dapat digunakan untuk kepentingan masyarakat umum, sedangkan hibah hanya bisa dimanfaatkan untuk perorangan atau kelompok yang memang dipilih oleh pemberi hibah sebagai pihak penerima.
Perbedaan kedua terletak pada ketahanan benda. Berdasarkan ketahanannya, benda wakaf biasanya berbentuk benda bergerak maupun benda tak bergerak, serta dapat digunakan untuk jangka waktu yang cukup lama. Sedangkan, barang hibah umumnya bersifat sekali pakai atau bisa juga tahan lama.
Perbedaan ketiga terletak pada hak milik. Dalam hal ini, hak milik dari wakaf tidak bisa dimiliki oleh seseorang karena hanya bisa dimanfaatkan untuk masyarakat umum atau luas, sedangkan hak milik hibah bisa menjadi milik pribadi si penerima.
Bila dilihat dari manfaat, ketahanan barang, penggunaan, dan hak milik, wakaf dan hibah sudah jelas berbeda. Bila manfaat hibah dapat diberikan kepada seseorang atau kelompok tertentu sesuai dengan ditunjuk oleh pemberi hibah, lain hal dengan wakaf yang bisa bermanfaat secara luas dan berkesinambungan secara terus menerus.
Anda bisa memanfaatkan harta untuk menyebarkan manfaat dan mendapatkan amal jariyah yang tidak terputus melalui wakaf. Itulah mengapa Anda bisa mulai merencanakan untuk menunaikan wakaf dengan cara menabung.
Kemudahan berwakaf juga bisa dilakukan melalui aplikasi OCTO Mobile dari CIMB Niaga. Anda bisa mengikuti beberapa langkah mudahnya berikut ini:
Untuk pembayaran wakaf tersebut, Anda bisa menggunakan berbagai sumber dana, seperti Rekening Tabungan, OCTO Pay, maupun Poin Xtra CIMB. Selain itu, pembayaran wakaf dan donasi juga bisa diatur sesuai dengan keinginan Anda. Ketahui lebih banyak tentang wakaf melalui OCTO Mobile di sini.